Enak, ya, Tinggal di Luar Negeri

974775_10200619903212566_1763615632_n

latar foto: desa shirakawa-go, gifu, jepang

Perkenalkan, saya seorang istri dan ibu satu anak yang saat ini sedang merantau bersama suami dan anak saya di negeri sakura alias Jepang. Nama saya Kartika, tapi sekarang saya terbiasa dengan panggilan Mama Nisa. Biasa ya kalau sudah jadi emak-emak, panggilan berubah jadi nama anak.

Saya tinggal di Jepang Tengah, Prefektur Aichi. Ibukota Aichi sendiri adalah Nagoya. Yah, saya tinggal agak mlipir sedikit dari Nagoya, tepatnya di Kota Kariya. Kariya bisa dibilang desa jika dibandingkan dengan kota besar seperti Osaka, atau Tokyo. Di sini masih banyak sawah dan tanah lapang. Macet hampir tidak ada. Horee. Tapi, walaupun begitu, di Kariya ada universitas negeri, loh. Lumayan keren lah. Jadi enggak desa-desa amat.

Beruntung? Hmm, ya, saya memang beruntung bisa merasakan tinggal di luar negeri, walaupun itu di desanya sekalipun, yang penting luar negeri. Haha, begitu ya? Apalagi bisa dibilang perjuangan saya sampai ke sini hampir nol. Artinya saya tidak mengeluarkan energi, pikiran, serta biaya untuk bisa sampai ke Jepang. Ya, saya hanya ikut suami yang kebetulan sudah lebih dulu menetap di sini. Teman-teman saya sesama lulusan sastra Jepang dulu mungkin banyak yang iri dengan saya. Banyak teman saya yang pintar, mereka berjuang untuk bisa pergi ke negeri sakura, namun gagal di ujian beasiswa, gagal seleksi pekerjaan, dll. Saya? Yang notabene tidak terlalu pintar, tidak berambisi untuk pergi ke Jepang, dan tidak berjuang ikut ujian sana sini, ternyata malah dipertemukan dengan jodoh di sini. Pantas saja ada yang bilang saya orang beruntung. Yah, saya bersyukur menjadi orang beruntung kalau begitu. Hehe.

“Enak ya, tinggal di luar negeri.”

“Enak ya, bisa sekolah / kerja di luar negeri.”

Sering mendengar ungkapan seperti ini? Dan itu ditujukan untuk kita? Saya sering. Wajar sih, dulu pun saya pernah berpendapat demikian. Tapi, mari saya beritahu hal yang sesungguhnya.

1. Makanan

Masakan Jepang dan Indonesia sama sekali berbeda. Jadi lidah harus adaptasi juga. Daging babi, sake, minuman keras, dan makanan-makanan berbahan dasar itu semua banyaaak sekali di sini. Otomatis kami sebagai orang muslim harus hati-hati memilih makanan.

Ya udah, makan daging ayam/ sapi kan bisa? Hmm, lagi-lagi tidak se-simpel itu. Di sini siapa yang menjamin daging ayam dan sapi disembelih atas nama Allah? Bukankah daging yang disembelih selain dengan nama Allah adalah haram hukumnya? Ada juga sih pendapat ulama yang membolehkan/ memberi keringanan terhadap kaum muslim yang menetap di negeri mayoritas non-muslim untuk mengkonsumsi daging ayam/sapi. Tapi, saya memilih untuk tetap berhati-hati. Ini tergantung kepercayaan masing-masing, mana yang dijadikan pegangan. Makanya saya sering nge-ces liat iklan ayam goreng KFC atau Mc D. hehe

Mau beli makanan apapun, harus dicek komposisinya. Dihafal bahan-bahan mana saja yang tidak boleh dimakan. Kalau tidak bisa baca hurufnya, ya dihafal bentuk tulisannya. Hihihi.

2. Bahasa

Ini dia masalah utamanya. Saya, walaupun pernah mengenyam pendidikan bahasa Jepang di kampus bertahun-tahun, tidak lantas menjadikan saya fasih berbahasa Jepang. Kan sudah dibilang di atas tadi, saya orang beruntung, bukan orang pintar. Hehe. Waktu periksa kandungan di rumah sakit, saya betul-betul konsentrasi memperhatikan gerak bibir dokter dan pasang telinga serta otak sekaligus untuk bisa mengerti maksud ucapan si dokter. Kadang keluar ruang periksa masih blank. 😀

Sekarang, saya sedang mencoba meneruskan pendidikan ke jenjang S2, tapi sebelum itu jadi research student terlebih dulu (modal nekad banget). Di ruang kuliah pun, saya berusaha mencerna penjelasan dosen yang cuuepet banget kayak shinkansen. Belum lagi kalau disuruh bikin laporan atau disuruh ngomong, langsung gagap karena belum ‘dong’! Rasanya pengen pingsan di tempat. Haha. *itu sih derita lu* 😀

3. Sosialisasi

Orang Jepang termasuk sulit loh diajak berteman. Mereka cenderung individual dan tertutup. Yang lebih ramah dan lebih enak diajak ngobrol malah biasanya obaasan / ojiisan (nenek/ kakek). Kaum mudanya lebih cuek. Apalagi sama orang asing, biasanya mereka sungkan untuk menyapa duluan. Tapi, kalau mahasiswa biasanya lebih open, karena di lingkungan kampus banyak orang asingnya.

Jadi, harus pintar-pintar kita aja pedekate ke orang Jepang. Yang punya karakter supel, mudah bergaul mungkin tidak terlalu susah, tapi orang pemalu kayak saya bisa pusing dan uring-uringan. Hihi.

4. Tanpa asisten rumah tangga

Yang ini setuju ya? Tinggal di luar negeri itu berarti harus siap semuanya dikerjakan sendiri. Mulai dari memasak, mencuci, setrika, beres-beres, bayar tagihan, urus bayi, dll. Bagi dua sama suami? Boleh, tapi kadang kasian juga kan sama suami udah kerja seharian, masa sampe rumah masih disuruh masak, yah paling enggak cuma bisa disuruh cuci piring bekas makan sendiri. Hehe.

5. Yang sekolah

Wuih, jangan ditanya stress-nya para pelajar kita di sini. Ritme kuliahnya pasti beda lah sama di Indo. Dari segi mencerna penjelasan dosen yang ngejelimet aja udah bikin pusing, belum baca buku-buku referensi yang nambah pengen jedot-jedotin kepala ke tembok, apalagi kalau ada presentasi. Ampuuun.

Kalau yang sekolahnya pake biaya sendiri, stress-nya dua kali lipat! Karena mereka harus kerja untuk bayar kuliah dan mencukupi kebutuhannya. Makanya banyak juga cerita orang-orang yang gagal finish sampai akhir, akhirnya pulang kampung. Duh.

6. Yang kerja

Haaa. Apalagi ini. Memang sih, gajinya lumayan besar saya akui. Kerja satu tahun mungkin bisa beli mobil mewah di Indo. Tapiiii, hei, lagi-lagi pressure di sini gila-gilaan. Kalau tidak kuat-kuat fisik dan mental, bisa gila beneran. Hehe. *lebay yah saya*. Ijime di tempat kerja juga ada loh. Ijime bukan hanya di sekolah aja. Tapi menurut saya masih lebih mending lah daripada sekolah. Paling enggak, di tempat kerja enggak disuruh bikin laporan tugas akhir berpuluh-puluh lembar dalam bahasa Jepang. ^_^

Oya, untuk muslimah yang berjilbab, ini juga gampang-gampang susah cari kerja. Biasanya kerjanya yang tidak berhubungan langsung dengan konsumen alias di belakang layar. J Tapi mungkin kalau di kota besar kesempatannya lebih besar karena masyarakatnya lebih terbuka.

7. Biaya hidup tinggi

Saya pernah baca, biaya hidup di Jepang salah satu yang tertinggi di dunia. Dan memang betul. Di Jepang, walaupun orang-orangnya banyak makan ikan, dan merupakan salah satu negara penghasil ikan, tapi harga ikan di sini mahaaal! Makanya sushi  merupakan makanan mewah di sini. Mau makan mahal, beli baju mahal, telepon mahal, apa-apa mahal.*status emak-emak*  😀 sigh

Kalau tidak pintar berhemat, gaji yang besar hasil kerja keras kita bisa wuuss, numpang lewat gitu aja. Makanya, harap maklum ya kalau kami jarang pulang kampung. Mungkin bisa dua tahun sekali atau tiga tahun sekali. Itu saja sudah bersyukur sekali.

Begitulah hidup di luar negeri. Tidak semua indah-indah. Harus mau bekerja keras. Lebih keras malah. Tapi kami bersyukur bisa mengalami itu semua. Pengalaman-pengalaman ini bisa membuat kami lebih dewasa dalam bersikap, lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, dan lebih bersyukur pastinya. Semoga kami bisa tetap istiqomah di negeri ini. Tidak, tidak, kami tidak punya keinginan untuk seterusnya tinggal di sini kok. Suatu saat kami pasti pulang. Kami selalu rindu kampung halaman, negeri yang hanya bisa kami dengar kabarnya lewat berita. Kami tetap cinta Indonesia kok dengan segala kelebihan dan kekurangannya. *cieeh

Wow! Panjang yah jadinya. Sebenarnya niat saya tadi cuma mau kenalan aja, berhubung baru posting pertama. Malah cerita panjang lebar gini. Ya, karena udah terlanjur, biar makin akrab boleh banget loh berkunjung ke blog saya di www.catatanmamanisa.wordpress.com.

So, salam kenal ya. 🙂

31 thoughts on “Enak, ya, Tinggal di Luar Negeri

  1. Hehe…senasib kita ternyata ya mbak. Yup, sekilas orang melihat tinggal di LN itu enak…padahal….huhu….nangis2x darah juga sebelum akhirnya bisa beradaptasi… Di sini orang Indonesia sedikit banget, cuma 550 orang satu negara, apalagi makanan Indonesia…boro2x deh. Tapi ya ini jadi bahan pelajaran juga supaya kita tahan banting dan selalu bersyukur… 🙂

  2. Assalamualikum mamanisa, boelh dong saya mampir kenalan dengan keluarga, saya bulan Oktober tgl 8 akan ke Jepang dan ini untuk yang pertama kali, jadi butuh petunjuk atau panduan saat di sana. Saya akan tinggal di Kariya sekitar 10 hari untuk training di pabrik roti.

    • Wa’alaikum salam Pak Joko Sulistyono. Maap baru bales ya Pak. Boleh banget Pak mampir, nanti saya kenalkan ke suami saya. Sekarang Pak Joko posisi di mana? masih di Kariya? Add FB saya aja Pak, Kartika Kusumastuti. nanti bisa inbox saya untuk janjian, in sha Allah. 🙂

  3. salam kenal mama nisa..
    waah asik yaa bisa tinggal di Jepang :D, sy punya cita” bisa berkunjung ke jepang, semoga suatu hari nanti bisa menyusul ke jepang yaa 😉 hehehe

  4. Pingback: Sudah Siap Tinggal di Jepang? | catatan mama nisa

  5. salam kenal Mak Nisa,, tok tok tok,, udah pulang kuliah belum?? makasih mak, jadi ada gambaran betapa kerasnya hidup di negeri rantau…*kebayangnya kenapa jadi bento tools terush yah?? murah2 ga mak kalo bento tools? *salah fokus hehehehe

  6. Jadi kalau tidak dengan beasiswa, bagaimana caranya membiayai kuliah di luar negeri? Pertama, saya tidak pernah mengatakan ‘jangan cari beasiswa’. Beasiswa tetap merupakan salah satu sumber pembiayaan kuliah di luar negeri; yang saya katakan adalah fokuslah untuk dapat diterima di sekolah yang baik, dan usahakanlah berbagai sumber pembiayaan, termasuk dengan melamar secara strategis ke beberapa beasiswa.

    • Selain dengan beasiswa, sekolah bisa sambil bekerja Mbak Nell. Banyak kok mahasiswa sini yg membiayai kuliah sendiri sambil kerja. Visa pelajar bisa nyambi part-time. Selain part-time, bisa mengajukan keringanan biaya ke pihak kampus. Biasanya dapat keringanan 25%, 50%, bahkan ada yang 100% alias ga bayar. Pertimbangannya tergantung pihak kampusnya. Trus ditengah2 studi, kita juga bisa melamar beasiswa. Di sini banyak banget penawaran beasiswa untuk mahasiswa. Ada yg dari swasta ataupun pemerintah. Kalau lolos, lumayan bisa meringankan biaya kuliah. Betul, beasiswa itu penting sebagai sumber pembiayaan. Tapi kalaupun sudah berusaha tapi tak kunjung dapat, bisa dengan opsi yang lain. Yang penting semangat belajar dan bekerja keras. Kalau saya, full dapet beasiswa dari pak suami. Hihihi.

      Ini saya sertakan link cerita pengalaman kuliah sambil bekerja di Jepang. Tidak ada yang tidak mungkin selama kita mau berusaha. Tetap semangat!
      http://mbantoelpoenya.wordpress.com/2012/02/11/pengalaman-kuliah-di-jepang-dengan-biaya-sendiri/

  7. Wah susah juga ya mba…
    Saya punya pacar orang Jepang, Mungkin akhir taun depan merried dan saya akan ikut suami ke Jepang.
    Susah juga yah tinggal di Jepang…

    • tinggal di mana pun pasti ada plus minusnya mbak. cuma klo tinggal di LN proses adaptasinya jadi dobel, karena budayanya beda dengan kita. apalagi nanti mbak utami akan menikah dengan orang jepang, selain adaptasi dengan suami juga adaptasi dengan keluarganya. gpp mbak, pasti bisa. banyak kok di sini yg kawin campur, dan mereka baik2 saja. Semangaaaat! semoga lancar ya mbak rencananya. ^_^

  8. Halo mama nisa salam kenal ya,
    Aku pgn nanya kalo di jepang kita bisa aktifin Blackberry kita pakai sim card disana atau gimana?
    Thx before 🙂

  9. Halo mb nisa….suami ku insya Allah kjepang mb, bulan september taon ini. Dpt beasiswa k universitas tokyo…
    Mdhan2an aku bisa ikut

Silahkan berkomentar